Selasa, 22 November 2011



Dinamika Pariwisata dalam Puputan Negeri Lumbung
Pesta Besar di Pulau Kecil


HARAP tenang, sebentar lagi kita akan berpestapora. Bukan dengan busa nira dalam perian, yang baru kau sadap pada tangkai bunga aren. Sudahi dulu tarian tanpa makna itu karena suara cekepung telah pecah dalam alunan gamelan tua. Kita akan berpesta dengan rasa dan hati. Berpesta dalam memaknai Prakampianing Pretiwi Mandala. Bersorak dalam Gempita Tanah Air. Jejak Siwa Nata Raja akan mengawali pesta kita dalam alunan Adi Mredangga. Bersiaplah, tidak lama lagi kita akan jadi riuh dalam suka cita ria yang panjang.
Siapa pun boleh berpesta. Ruang ini terlalu luas untuk kita bersama, mengapresiasi diri pada gerak dan suara-suara teratur dan berirama. Becerminlah, maka kau akan tahu talentamu telah terbangun sebelum matahari berpijak dari belahan bukit timur. Arena itu telah menantimu untuk menari dan bernyanyi. Datanglah ke sana, saungkan diri pada seni yang telah meraga jiwa pada tiap jengkal napasmu. Biar kalah sabung asalkan menang sorak. Bagiku bukan perkara menang atau kalah. Masih banyak kalangan yang akan kau gelanggangi untuk berpesta. Menjaga gerbang budaya tua pada desah sinar rembulan.
Tiap sudut mata angin muai berdenyut, berpesta kecil-kecilan di bawah kuasa Sang Hyang Langit. Mesti jalan terseok sinar matahari, tanpa hangat rembulan, masih ada kerdip kandil kecil penerang jalan pestamu. Berpesta di atas busa tarian dan wirama. Di manakah suara selonding itu pecah ketika selendang lembayung para penari mulai terbabar pada tepi senja melipat malam? Kita berpesta meski tanpa jamuan ini dan itu. Bukan masalah lapar atau kenyang. Puas dan kecewa adalah masalahnya ketika usai menikmati sajian talentamu dalam mengolah raga dan sukma menjadi irama yang tiada membosankan. Tarianmu telah berlumut oleh waktu, bertahun-tahun sudah diguyur keringat lembab gelisahmu. Kini saatnya menghangatkan diri pada hamparan ladang pesta yang singkat ini. Jangan sia-siakan. Kita punya lima penjuru, tempat kita untuk berpesta. Meski delapan mata di pulau ini tak pernah sama kadang terjaga dan kadang terlelap. Tapi di pesta ini kita sama-sama berdansa pada alunan lagu dan musik yang pernah usang dijaga zaman. Kita akan sama-sama berpesta menikmati sajian kering dan basah seni sana sini.
Di utara, terdengar jeritan burung gagak tengah menari, berbaur dengan irama burdah pecah di gelugu Pegayaman. Dalam arak-arakan, petanimu tengah berpesta biji anggur. Di selatan, parade beleganjur mulai mengalun di tengah hiruk pikuk kota yang tak pernah sepi oleh kehidupan Ladangmu yang menyempit, dinamika pariwisata dalam desah pasir putih Kuta dan Sanur, puputan negeri lumbung padi dan negeri serombotan, bisunya patung Ubud dan Batubulan terekam dalam gerak-gerak teaterikal yang megah dan akbar.
Di barat, konon jarak putih semakin kehilangan agemnya ketika taman safari yang ia bentangi makin gersang digerogoti cuaca. Hanya jegog tua terus bergempita pada puncak pestamu. Di timur, matahari sloka dan sastra selalu lebih dahulu bangun dalam balutan songket Tenganan. Tapi masih saja ada pesta nira dalam kerumunan anak-anak jalanan. Di tengah, ada tarian tasik klasik yang memagari budaya adat Kedisan dan Trunyan. Bukalah matamu, bukankah hari ini kau akan menari? Kembali menabuh gamelan bergangsa emas yang sudah lama lelah menunggumu. Inilah pestaku, tak pernah sepi meski musim terus menggerus mimpi-mimpi kecil pulau ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar