Senin, 28 November 2011

BUKIT BERAPI GROKGAK


            Ingat Kubu Karangasem, saya jadi ingat Grokgak Buleleng. Dua daerah yang sama-sama kerontang ketika menjalani rutinitas musim tuarang. Di balik kekeringan itu, ada beragam cerita yang menarik untuk saya simak bahkan mengalaminya secara langsung. Di sepanjang Kubu, pada setiap musim kemarau, pohon bekul lebat berbuah. Para gembala, yang kebanyakan anak-anak usia sekolah akan memetik pohon berduri itu dengan sebatang galah bambu. Sudah tentu sambil mengawasi sapi atau kambingnya yang tengah kepanasan merumput di ladang. Jangan heran jika yang dimakan ternak itu hanya sisa rumput kering.
Namun begitulah habitatnya, harus dijalani dengan pembiasaan meski pahit yang harus dikecap. Jika telah bosan memetik, si gembala kecil akan berteduh di bawah rindang bekul itu. Jangan tanyakan awan atau mendung di tanah ini karena langit lebih senang mengosongkan diri dalam kesehariannya. Sementara itu, si gembala tua akan menyabit rumput kering itu dan sisanya akan dibakar. Itulah sebabnya, sebagian besar kulit si gembala semakin hitam berminyak disembam matahari. Hanya rumpun kaktus yang kian menghijau itu dibiarkan tumbuh leluasa sebagai penjaga ladang. Ladang-ladang pun jadi berasap terbakar, lalu hanya menyisakan abu arang hitam bekas pembakaran.
Begitupun yang terjadi di Grokgak saat musim kering tiba. Ladang-ladang tadah hujan akan hangus terbakar. Rumput yang sebelumnya tumbuh segar kini meranggas kekurangan air. Keropos. Hal tersebut, tentang terbakarnya ladang-ladang itu pernah diceritakan oleh teman saya lewat sebuah pesan singkat. “Datanglah ke Grokgak di musim panas maka bukit berapi itu akan menyambutmu”. Jika di Kubu yang dibakar adalah ladang di dekat pantai ke arah kaki Gunung Agung, di Grokgak yang dibakar adalah ladang di sepanjang belahan utara bukit. Inilah yang menjadi cikal bakal cerita bukit berapi itu. Bukit berapi sengaja diciptakan oleh penduduk, para pemilik sah ladang-ladang itu.
Memang, ladang yang kering tidak banyak memberi janji. Namun, jika sudah masanya tiba ladang itulah yang banyak memberi kehidupan, bukan cuma janji. Di musim panas, tidak banyak hal yang bisa dilakukan oleh para peladang selain membakar rumput-rumput itu. Bukit di sepanjang Grokgak pun jadi berapi. Jika disaksikan pada malam hari, akan menjadi pemandangan yang menakjubkan. Api melilit belahan utara bukit, berkobar melahap semak belukar yang telah kehilangan akarnya di sepanjang musim panas. Anehnya kobaran api tersebut tidak ditakuti oleh penduduk karena telah terbiasa dengan fenomena seperti itu. Jika telah habis terbakar, yang tersisa hanya abu hitam seolah-olah membentuk sebuah lukisan yang menunjukkan arah jilatan lidah api di hamparan bukit, tadi malam.
Pembakaran ladang di bukit itu tentu memiliki alasan yang jelas. Logikanya, sisa pembakaran itu akan memberi tabungan kompos bagi tanah ladang. Kelak, jika musim basah datang, tunas-tunas rumput baru akan tumbuh subur ke permukaan. Jadilah ladang itu hijau kembali. Kejadian ini, mengingatkan saya pada usaha yang dilakukan oleh para petani membakar jeraminya di sawah sehabis melakukan panen raya. Baik di sawah yang basah, maupun di ladang yang gersang sama-sama membutuhkan siklus untuk membentuk suatu kehidupan yang baru. Sudah pasti kehidupan itu didahului oleh kematian. Kematian rumput-rumput di ladang tandus itu. Kini, musim panas akan segera mengakhiri rutinitasnya di atas bukit itu. Ketika rintik-rintik itu mulai membasahi ladang-ladang di akhir tahun, berakhir pulalah cerita bukit berapi itu. Baik di Grokgak maupun di Kubu tidak ada lagi ladang yang terbakar. Bukit dan tanah berlahar itu akan kembali basah, tentu dengan segenap cerita tentang tumbuhnya tunas-tunas baru, nanti di awal tahun baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar