Senin, 28 November 2011

Grafiti Pohon

            Aku sempat ragu atas kedatanganmu ke langit Sukasada. Namun, saat itu, dengan tarian kunang-kunang senja kau datang membawa segenggam kepastian di atas keraguanku. Kau ingin membangun dunia dengan rambutmu yang terus memanjang. Namun, entah kenapa iklim belum terlalu akrab bersahabat dalam tubuh dan jiwamu, yang kadang seperti tong kosong yang tak senyaring bunyinya. Aku datang ke pangkuan senyummu untuk menagih cerita yang dulu pernah kau janjikan di bawah pohon kepundung. Senyampang pohon itu berbunga mari kita lekas bersua untuk menaklukkan butir-butir dingin yang kian merajalela di lembah sempitmu. Segeralah sebelum pagi kembali tiba menyaingi derap langkah kita. Karena yang kita punya hanyalah malam di ujung sayap-sayap serangga.
            Dunia sempat kagum ketika kau bercerita ingin jadi ratu bagi kata-kata. Dan teduh kepundung itu memberimu waktu untuk meminang gaun bahasa nan bersahaja. Keinginanmu ingin menjadi pucuk dari segala pohon sempat kau torehkan di bangku dan tembok kelasmu. Kau pun akhirnya dimaki oleh gurumu ketika kertas polosmu tak mampu lagi menampung tarian pensil istanamu. Mesti diakui kau terlalu sombong menceritakan kata-kata hasil anyaman lidahmu yang konon tak bertulang itu. Kau pun berpaling. Kau penuhi sandaran-sandaran kursi dengan tulisan klisemu. Mengotori kaki-kaki meja kelas dengan coretan pendek yang bagi akan bermakna dan tetap abadi. Tetapi apa yang kau tulis akhirnya hanya menjadi grafiti kering di bangku sekolahan. Ke mana lagi tangan-tangan nakalmu akan menari, ketika sandaran punggungmu mulai lapuk bahkan merapuh?
            Kini, kau tak perlu takut karena kita punya pohon-pohon yang bisa kau grafiti setiap waktu ketika naluri tulisanmu hadir setiap saat. Tiada lagi tinta pena yang akan kau gunakan untuk melumuri ranting-ranting itu. Adalah getah yang kini kau punyai. Namun, tak pernah kau cicipi pahitnya karena yang lebih tahu tentang rasa adalah kata-kata yang telah kau gores pada lebam kulit pohon-pohon itu. Maka tak akan menjadi pahit lagi apa yang kau ucapkan pada setiap huruf yang meluka pada tubuh pohon tua itu. Sungguh manis untuk dibaca dan didengar tetapi cukup pedih untuk dirasa ketika kata-kata bergetahmu menajami dahan pohon dengan bunga dan buah musiman.
            Aku lebih senang menyebutmu perempuan-perempuan kepundung. Di musim ini pohon itu telah mengubah putik bunga putihnya menjadi bakal biji-biji kepundung. Sepertinya, cerita ini akan menjadi lebih manis ketika kau menelan bulir demi bulirnya kelak saat buah itu berwarna merah menyala. Sukasada begitu lugu menyediakan waktu bagi kita untuk bernaung di bawah rimbun pohon-pohon. Pohon itu tak lagi membuatmu manja. Setiap kata yang tergrafiti pun tak lagi secengeng di bangku sekolahan. Kini kau telah menjadi tunas-tunas idaman dengan segenap kedewasaan yang terpancar dari balik lingkaran kambium. Seiring bertambahnya umur ukiran grafiti di pohon jiwamu. 
        Kau patut mensyukuri, bahwa setiap getah yang kau kucurkan pada dahan itu, kepundung tak pernah memberontak. Dari akar ke ujung daun, pohon itu begitu pasrah menerimamu apa adanya. Meski kau begitu yakin tahu, luka itu begitu sakit untuk sebuah pohon. Kau terus menulisi tubuhnya bukan lagi dengan cinta, rindu, atau benci. Grafiti yang kau pahat terasa lebih dalam dengan kisah tentang harapan, filosofi, prinsip, teori atau apa pun itu yang akan mengubah dirimu pada setiap tulang daun yang terus berguguran. Setahuku itulah bahasa abadimu kini. Di bab akhir, kepundung yang telah remuk kau lukai dengan segala ego ilhammu telah meranggas kehilangan jiwa. Jadi, jangan segan-segan membunuh pohon itu sebelum kau melukai setiap detail kulitnya dengan sayatan grafitimu.

Pertemuan Gunung dan Laut Utara

Bukan cuaca yang menggiring kita untuk bertemu di tanah ini. Adalah kesepakatan-kesepakatan kita, kala senja itulah yang menjadi penyebabnya. Den Bukit menjadi pilihan kita untuk sekadar berteduh dari wajah langit yang terus memuram. Kampung kita sudah sesak oleh kisah-kisah membosankan. Kita perlu berlayar lagi meski tak ada laut yang akan kita seberangi. Kita berlayar pada kedalaman angin yang terus mengembusi sepanjang jalan kita. Kelak, kita akan bisa membangun kampung itu dengan cerita yang lebih segar. Kita perlu mendaki lagi meski tak ada gunung yang akan kita naiki. Kita mendaki ketinggian pikiran-pikiran kita untuk mengejar cita-cita. Kelak, kampung kita akan punya masa depan. Tapi siapakah diri kita yang terlalu berani punya idealisme yang setiap saat bisa mati?
Cuaca hanya memberi kesempatan pada kita untuk memilih nama. Gunung dan Laut itulah diri kita. Aku adalah Gunung-nya. Dan Laut adalah kau sendiri. Terlahir menjadi Purusa dan Predana. Kita sama-sama telah dikonsepsi untuk selalu bersama mengisi hidup di atas bumi. Bukankah rwa-bineda selalu hadir dalam hidup ini? Lautlah yang mengajarkan kita pada kedalaman. Gunung juga yang mengingatkan kita pada ketinggian. Adakah tempat yang mampu mempertemukan perbedaan-perbedaan karakter kita? Mesti dipahami bahwa nuansa itu adalah kebersamaan yang patut kita jaga. Meski bukan dengan kepalan jari-jari tangan, kita masih punya kata-kata untuk berdiplomasi. Adakah kota itu?
Adalah Singaraja, kota yang lahir dari lidah Ki Barak menjadi tempat yang terindah bagi Gunung dan Laut untuk saling mengenal, saling menerima, juga saling memberi. Di sinilah Gunung dan Laut dipertemukan. Lihatlah Gunung di sebelah selatan maka kau akan tampak kecil di kota ini. Pandanglah pula Laut di utaramu, maka kau akan tampak sempit di tanah luas ini. Jadi, jangan gegabah memandang Gunung dan Laut bisa-bisa kita salah langkah. Itulah sebabnya mengapa sesak kampung selalu mengusir tubuh dan pikiran kita untuk selalu membelajarkan diri. Mencoba menjadi Gunung, mencoba menjadi Laut adalah cita-cita kita sedari kecil. Namun, setelah kita mengenal karakter Gunung dan Laut di kota ini kita jadi lebih sering merenungi tinimbang ingin menjadi.
Di dermaga kota itu, kita masih sepakat untuk mempelajari kehidupan Gunung dan Laut. Mempelajari hidup kita sendiri. Namun, kita lalu menjadi sedikit lebih takut mengenal karakter-karakter kita masing-masing, bahkan berusaha untuk menutupinya. Baru satu hal yang kita tahu, itupun masih terlalu umum bagi kita bahwa Gununglah yang memberi asam bagi kehidupan ini dan Lautlah yang menggaraminya. Kita hanya bisa menyediakan belanga bagi pertemuan asam dan asin di kota ini. Bukankah belanga kita terlalu kecil untuk pertemuan itu? Atau jangan-jangan telah retak sebelum terisi.
Hanya itukah yang kita tahu? Jauh di puncak ketinggian Gunung itu, kita pernah melihat warna malam kota. Dari puncak inilah, daun-daun itu menyejuki kota meski kita tahu kota ini selalu saja mengembuskan udara panas. Gunung selalu membuat kita menjadi lebih tinggi. Kita kadang-kadang meremehkan kerendahan atau melupakannya. Padahal dari kerendahan itulah kita gapai puncak ketinggian. Jauh di tengah Laut itu, kita pernah melihat garis tepi kota. Dari kedalaman inilah, tepi itu selalu beriak, bahkan memberi gelombang bagi kehidupan kota. Laut selalu mengantarkan kita pada kedalaman. Namun, ketika kita sudah menyelam jauh di kedalaman itu kita sering melupakan kedangkalan. Sejatinya, dari tepi yang dangkallah kita bisa berenang jauh ke titik yang lebih dalam. Kita, yang merasa masih rendah dan dangkal, kota ini masih memberikan peluang untuk mengolah asam Gunung dan garam Laut menjadi lebih bermakna dalam kehidupan.

Di Ujung Istana Air


             Pada anak tangga itu, kita pernah mendongengi patung warak tua dengan keluh kesah cinta. Rindu lalu mengapung di atas kedalaman Laut Ujung yang mulai disesaki nelayan memulangkan pagi. Pada tepi itu kehidupan pantai telah dimulai. Namun, masih ada sisa tangis bendega kecil pada lautmu yang berbatu. Karena karangmu tak lagi seteguh hatimu menunggu pagi lebih dini. Juga terumbu-terumbu itu hanya akan jadi bumbu bagi dongeng ikan-ikanmu kelak ketika orang-orangmu tak lagi peduli pada keindahan yang mesti dijaga. Masih adakah keindahan itu di jiwamu? Kini, kudapati layarmu telah lusuh karena kau harus pulang lebih awal, membasuh tubuh asinmu di situs istana berair itu.
             Tumbu yang kukenal hanyalah batas bagi sepimu. Di sanalah kau akan mengurai sunyi itu pada sepanjang kali bertepikan pohon-pohon padi. Sejenak riak telaga mulai terjaga ketika segaramu mulai mengirim udara dan akan berkubang di titik sarang burung-burung bukit Bisbis. Aku tahu kau pernah punya mimpi ingin jadi raja bagi tepi telaga itu. I Gusti Bagus Jelantik itukah obsesimu? Sayang kau belum lahir seabad lalu. 1919 adalah masa yang belum pernah kau tiduri. Mimpi pun lenyap. Kini kau hanya bisa menangkap kesan megah masa lalu lewat cerita beku yang dikisahkan oleh sepasang kijang jinak.
            Rindumu makin menjadi ketika puing-puing itu kian berlumut, bersandar pada musim yang tidak pasti. Adalah Hyang Tohlangkir yang memberi masa pada istana untuk sesekali tunduk pada petaka. Aku tahu, kau datang di pagi itu untuk mengagumi kisah yang mungkin masih mengambang di atas kolam hijau berganggang. Hanya pada ketinggian bale kapal kau akan merenungi betapa dulu rajamu punya kuasa. Dari bale lunjuk kau hendak berimajinasi di tengah-tengah laut ingin menjaga istana itu tetap berair. Menuruni tanah berundak membuat manjamu keluar membentur bulir-bulir padi yang kini tinggal sepetak.
            Di situs ini, rajamu itu telah bergelar anak agung.  Bahwa kisahmu adalah pernah menjamu tamu-tamu yang mungkin tak tercatat dalam sejarah. Tapi aku dapat merasa, betapa sumringahnya tiap pesta yang kau janjikan pada setiap malam kecilmu.  Pun karena dayang-dayang puri masih setia menemani, memandangi bulan bundar menyelam di kedalaman kolam. The Water Palace, akan menunjukkan padamu betapa dasyatnya air menjernihkan cahaya sukma. Juga pada ujung bola matamu? Di kolam dirah itulah lalu kudapati aura magis rajamu masih terasa menjaga setiap detail istana tua. Adakah kau merasa kedatanganku di sini membawa segenap rindu pada guguran daun kaliandra kering?
            Sempatkan lelahmu bersandar di bale gili, karena dari sanalah kita akan jadi lebih dewasa berpikir bahwa air punya sejarahnya sendiri menjiwai kehidupan istana. Memandangi potret kebesaranmu di tembok beranda itu adalah sebuah anugrah, melebihi keindahan panorama yang kau sucikan. Meski aku tahu pilar-pilar bale bundar itu tetap menjadi saksi untuk janji-janji cintamu. Dari sanalah kau menyudahi tidurmu yang kadang tak membawa mimpi. Dibangunkan dengan sinar matahari yang baru saja dikirim dari batas lepas tepi lautmu. Adakah cekepung itu masih bersenandung pada jembatan hatimu?
           Di selatan tiga telaga, jalanku mulai lelah mengenang musim yang pernah kau layari bersama para panjakmu. Siapakah yang akan kau jamu malam ini? Sedangkan kumbang malam mulai menembang di tepi rumput bale kambang. Bertahun-tahun meruntuhkan sepi menggenangi sungai berteduhkan daun talas ungu. Koloni bangau putih itu harus pergi lagi menyarang senja. Setelah lelah ia mendengar gemuruh air terjun sang warak di ketinggian lereng bersemak kabut. Kembali entah ke pohon mana akan ia ceritakan bahwa relief istana air tak lagi bisa menepis sepi di setiap lekuknya yang terdalam. Pun sejuk dongeng air ini mesti kuakhiri di puncak altar manikan, di ujung air hulu istanamu.

CERITA DARI BUDAKELING

            Dari Budakeling, aku tahu namamu lahir dari sebatang pohon. Ni Tanjung, kaukah itu yang sering menyembah bulan dari balik daun gamal di gersang laharmu? Pada salah satu sisi cekung pangkung itu, kutemukan tahta batu-batumu. Tapi bukan untuk kembali ke sebuah zaman sebelum kau mengenal aksara. Kau hanya ingin melukisi sisa batu-batu lahar itu. Melukis dengan segenap cerita megalitikum yang mungkin tak kau dengar dalam sejarah. Dan aku lebih suka menyebutmu perempuan pelukis batu bukan nenek gila seperti yang ditujukan oleh guyonan senja yang tak lagi basah itu.
Hanya musimlah yang membuatmu menjadi tidak waras. Bukan batu-batu bercadas itu. Karena kau punya ritual sendiri, menjadi abdi seni pada tikung jalanmu yang kini mulai berdebu. Dengan gerak yang kau maknai, tersiar kabar engkau juga seorang penari. Arja, itukah seni yang dulu kau napasi? Kau pernah berkata ingin menari dalam cermin yang sering kau bayang-bayangi sendiri. Menari dengan iringan ritme lolongan dua ekor anjingmu, membuat gubuk batumu makin bertaksu. Tapi ada sepi di senandung lirihmu.
            Pada pagi Jabe, kudapati kau sudah menyambut matahari. Kembali pada rutinitas menumpuk batu-batu itu, yang bagimu perlu dijiwai dengan segores kapur putih. Maka batu-batu berwajah itulah yang akan menemani tarianmu di kala bulan menghampiri. Malam ini, roh-roh mana yang akan kau lukis pada kanvas batu-batu itu? Kau ingin melukis betara dan betari yang sedang kau puja meski tanpa dupa dan setetes air suci. Tapi selalu ada harmoni dalam lukisan batumu. Penyatuan etnis tanpa batas dengan warna-warna yang lebih ekspresif. Meru manakah yang akan kau pinang dalam tumpang punden batu-batu itu? Bulan masih mau menemanimu menggoresi batu yang kian bercahaya.
            Ni Tanjung, kini hendak berwiracarita pada wayang-wayang yang ia ringgit sendiri di rambat rumput tepi jalanan. Jadilah dalang bagi lakonmu sendiri dengan pecah sinar bulan yang telah kau pilih pada kelir malammu yang lusuh. Namun, malam tadi kau kembali mengumpat atas kehilangan lakonmu pada guguran gempinis di jantung laharmu. Suara-suara itu terlalu mengusik tembang pupuh yang kau gurat cepat dan tepat, juga pada batu-batu bertoreh kapur itu. Sepi pun sempat menghampiri. Hanya diam yang tersisa pada sisa retak cerminmu. Dengan apakah aku harus mengusir sunyi pada altar batumu?

            Bertahun-tahun lamanya, aku masih bisa menyinggahi tahta batu tuamu. Meski kini mulai bersemak lumut pada celah-celah yang kosong. Dari sanalah sinar bulan memberiku cerita bahwa kau tak lagi mendiami istana batumu. Tak lagi melukis ribuan wajah liris nan magis. Telah habiskah kuas dan kanvas-kanvas alam itu? Kau bukannya berkelana mencari dunia dengan cuaca yang lebih bersahaja. Budakeling pun tak bisa kau tinggalkan karena di sana masih ada banyak batu yang bisa kau lukisi. Ni Tanjung, jika tahtamu masih bermusim, ingin rasanya aku bertamu ke istana batumu, memintamu untuk menari lagi dengan pendar bulan yang lebih purnama. Sesekali  memintamu untuk memandang mukaku dan melukiskannya pada batu-batumu. Kelak akan tahu seperti apa wajahku dalam batumu.

BONDRES ITU PENUH ISI


            Betapa besar apresiasi yang ditunjukkan oleh Undiksha terhadap keberadaan dan perkembangan seni budaya Bali. Apresiasi itu diwujudkan lewat usaha nyata di lapangan dengan menggelar lomba bondres antarfakultas yang diselenggarakan 8 November 2008 yang lalu. Yang menarik bagi saya adalah peserta lombanya diikuti oleh mahasiswa. Saya lalu bertanya-tanya bagaimana jadinya pertunjukan bondres itu jika dimainkan oleh mahasiswa? Setahu saya tidak semua mahasiswa akrab dengan kesenian. Saya pikir, hanya mahasiswa yang berjiwa senilah yang mampu mementaskannya dengan baik.
            Ternyata dugaan saya meleset. Rasa penasaran dan keragu-raguan saya telah terjawab di atas panggung kampus itu. Lomba itu tenyata diikuti oleh banyak kelompok peserta. Yang membuat saya berdecak kagum yaitu ketika menyaksikan penampilan mahasiswa dalam mementaskan bondres. Meskipun dalam konteks ini mereka baru menjadi “seniman dadakan” tetapi saya merasakan jiwa mereka seolah-olah telah menyatu dengan karakter tokoh yang dimainkan. Mahasiswa itu mabondresan begitu lepas, tanpa beban, dialognya mengalir, tanpa kesan menghapal, menjiwai juga penuh improvisasi. Intinya, saat itu juga, mereka tampak profesional menjadi pragina bondres di atas penggung.
            Memang, harus diakui bahwa mahasiswa bisa seperti itu karena adanya proses yang dilalui sebelumnya yaitu belajar disertai dengan latihan. Hasilnya kini telah mereka petik. Begitu memuaskan. Paling tidak bisa menepis rasa malu yang berlebihan dan ada keinginan untuk menghibur diri sendiri juga penonton sebagai penikmat kesenian. Mahasiswa yang rata-rata menjadi calon guru itu memang harus membuang jauh-jauh rasa malu mereka ketika berhadapan dengan khalayak, malu jika tidak berani tampil. Namun, harus bisa juga mengikat erat-erat rasa malu itu ketika menampilkan atau memberikan hal-hal yang tidak baik, penuh kepalsuan, sarat tipu daya kepada orang lain.
            Di samping itu, yang menggugah perasaan dan pikiran saya pada lomba itu adalah disinggungnya konsep Tri Kaya Parisudha dalam tema lomba. Konsep inilah yang hampir merata dikupas oleh para peserta lomba. Bagi saya, konsep ini sangatlah sederhana tetapi dalam implementasinya di lapangan secara nyata sangat sulit dilaksanakan, kadang-kadang kita melupakan atau mengingkarinya. Mestinya kita bersyukur mempunyai atau mengenal konsep kesusilaan ini. Seharusnya bisa dilaksanakan tanpa mengenal suku, ras, agama, atau antargolongan. Intinya konsep ini tidak mengenal perbedaan, mengenal keberagaman.
Jika semua orang sudah mampu melaksanakan ketiga bagian konsep ini, saya yakin dunia tidak akan mengenal peperangan, pertikaian, pembunuhan, dan sebagainya yang mengarah pada tindakan merugikan. Sederhananya, apabila kita sudah bisa berpikir yang baik, berkata yang baik, dan berbuat yang baik, rasanya tidak perlu lagi undang-undang lengkap dengan segala atributnya dibutuhkan oleh manusia. Baik berpikir, berkata, maupun berbuat yang baik haruslah dilakukan secara selaras, serasi, dan seimbang. Jika kita melihat kondisi politik bangsa saat ini, konsep inilah yang semestinya menjadi dasar, atau pedoman dipegang baik-baik dan teguh oleh para calon pemimpin bangsa.
Bukannya cuma bisa berkata-kata yang baik dan manis untuk membujuk seseorang, namun dalam pikiran tersimpan segudang kejahatan yang untuk selanjutnya berimbas pada penerapan perbuatan yang tidak baik. Namun, yang namanya konsep tetaplah konsep masih abstrak pada benak manusia, penerapannya secara nyata dalam kehidupan kadang berseberangan atau berlawanan. Selama manusia masih diinggapi “penyakit” lupa diri dan loba konsep ini akan semakin kabur bahkan hilang untuk dilaksanakan.
Saya beryukur telah diingatkan pada konsep adiluhung ini lewat pertunjukan bondres itu. Lomba itu juga telah mengobati kerinduan saya bertahun-tahun karena baru kali itulah saya bisa lagi menikmati pementasan kesenian yang kurang laris di pasaran. Saya masih ingat betul bahwa dulu, sebelum reformasi digulirkan, bondres sering dijadikan sebagai media penyampaian kebijakan-kebijakan pemerintah. Sehingga masyarakat menjadi tahu, paling tidak mendapat pencerahan atau penerangan tentang hal-hal yang akan atau telah dilakukan oleh pemerintah.
Alhasil, cara ini sangat efektif dalam memersuasi masyarakat karena disampaikan secara santai, penuh lelucon, namun sarat isi dan nilai-nilai yang hendak disampaikan. Pesan atau nilai yang ingin disampaikan akan cepat diserap oleh penonton (masyarakat) karena dikemas dalam bentuk hiburan segar. Meskipun kita tahu bahwa dalam pertunjukan bondres yang ditampilkan adalah rata-rata sosok yang jelek atau cacat dari segi fisik. Seperti bentuk bibir atau mulut yang tidak wajar (sumbing, ompong, jongos), pincang, bentuk mata atau pipi yang serba abnormal. Uniknya lagi semua itu dikemas atau disembunyikan dalam topeng. Harus juga diingat, topeng ini hanyalah sarana hiburan.
Fisik bukanlah menjadi ukuran, meskipun harus diakui pada hal-hal tertentu bentuk fisik dituntut ideal, musti normal. Namun, kebanyakan fisik kadang-kadang menipu. Dalam bondres yang lebih penting adalah ketersampaian isi (pesan, amanat, nasihat, atau nilai-nilai) kepada penonton. Jika kita memang penonton yang baik sudah semestinya bisa memilih dan memilah. Bila diberi pilihan, akan lebih baik jika fisik dan perbuatan kita sama-sama baik sesuai dengan norma yang berlaku. Pun bila tidak diberi pilihan lebih baik fisik kita tidak ideal daripada perbuatan kita banyak yang cacat. Jika belum, mulailah melandasinya dengan berpikir, berkata, dan berbuat yang serba baik, dari sekarang juga.

BUKIT BERAPI GROKGAK


            Ingat Kubu Karangasem, saya jadi ingat Grokgak Buleleng. Dua daerah yang sama-sama kerontang ketika menjalani rutinitas musim tuarang. Di balik kekeringan itu, ada beragam cerita yang menarik untuk saya simak bahkan mengalaminya secara langsung. Di sepanjang Kubu, pada setiap musim kemarau, pohon bekul lebat berbuah. Para gembala, yang kebanyakan anak-anak usia sekolah akan memetik pohon berduri itu dengan sebatang galah bambu. Sudah tentu sambil mengawasi sapi atau kambingnya yang tengah kepanasan merumput di ladang. Jangan heran jika yang dimakan ternak itu hanya sisa rumput kering.
Namun begitulah habitatnya, harus dijalani dengan pembiasaan meski pahit yang harus dikecap. Jika telah bosan memetik, si gembala kecil akan berteduh di bawah rindang bekul itu. Jangan tanyakan awan atau mendung di tanah ini karena langit lebih senang mengosongkan diri dalam kesehariannya. Sementara itu, si gembala tua akan menyabit rumput kering itu dan sisanya akan dibakar. Itulah sebabnya, sebagian besar kulit si gembala semakin hitam berminyak disembam matahari. Hanya rumpun kaktus yang kian menghijau itu dibiarkan tumbuh leluasa sebagai penjaga ladang. Ladang-ladang pun jadi berasap terbakar, lalu hanya menyisakan abu arang hitam bekas pembakaran.
Begitupun yang terjadi di Grokgak saat musim kering tiba. Ladang-ladang tadah hujan akan hangus terbakar. Rumput yang sebelumnya tumbuh segar kini meranggas kekurangan air. Keropos. Hal tersebut, tentang terbakarnya ladang-ladang itu pernah diceritakan oleh teman saya lewat sebuah pesan singkat. “Datanglah ke Grokgak di musim panas maka bukit berapi itu akan menyambutmu”. Jika di Kubu yang dibakar adalah ladang di dekat pantai ke arah kaki Gunung Agung, di Grokgak yang dibakar adalah ladang di sepanjang belahan utara bukit. Inilah yang menjadi cikal bakal cerita bukit berapi itu. Bukit berapi sengaja diciptakan oleh penduduk, para pemilik sah ladang-ladang itu.
Memang, ladang yang kering tidak banyak memberi janji. Namun, jika sudah masanya tiba ladang itulah yang banyak memberi kehidupan, bukan cuma janji. Di musim panas, tidak banyak hal yang bisa dilakukan oleh para peladang selain membakar rumput-rumput itu. Bukit di sepanjang Grokgak pun jadi berapi. Jika disaksikan pada malam hari, akan menjadi pemandangan yang menakjubkan. Api melilit belahan utara bukit, berkobar melahap semak belukar yang telah kehilangan akarnya di sepanjang musim panas. Anehnya kobaran api tersebut tidak ditakuti oleh penduduk karena telah terbiasa dengan fenomena seperti itu. Jika telah habis terbakar, yang tersisa hanya abu hitam seolah-olah membentuk sebuah lukisan yang menunjukkan arah jilatan lidah api di hamparan bukit, tadi malam.
Pembakaran ladang di bukit itu tentu memiliki alasan yang jelas. Logikanya, sisa pembakaran itu akan memberi tabungan kompos bagi tanah ladang. Kelak, jika musim basah datang, tunas-tunas rumput baru akan tumbuh subur ke permukaan. Jadilah ladang itu hijau kembali. Kejadian ini, mengingatkan saya pada usaha yang dilakukan oleh para petani membakar jeraminya di sawah sehabis melakukan panen raya. Baik di sawah yang basah, maupun di ladang yang gersang sama-sama membutuhkan siklus untuk membentuk suatu kehidupan yang baru. Sudah pasti kehidupan itu didahului oleh kematian. Kematian rumput-rumput di ladang tandus itu. Kini, musim panas akan segera mengakhiri rutinitasnya di atas bukit itu. Ketika rintik-rintik itu mulai membasahi ladang-ladang di akhir tahun, berakhir pulalah cerita bukit berapi itu. Baik di Grokgak maupun di Kubu tidak ada lagi ladang yang terbakar. Bukit dan tanah berlahar itu akan kembali basah, tentu dengan segenap cerita tentang tumbuhnya tunas-tunas baru, nanti di awal tahun baru.

Selasa, 22 November 2011



Dinamika Pariwisata dalam Puputan Negeri Lumbung
Pesta Besar di Pulau Kecil


HARAP tenang, sebentar lagi kita akan berpestapora. Bukan dengan busa nira dalam perian, yang baru kau sadap pada tangkai bunga aren. Sudahi dulu tarian tanpa makna itu karena suara cekepung telah pecah dalam alunan gamelan tua. Kita akan berpesta dengan rasa dan hati. Berpesta dalam memaknai Prakampianing Pretiwi Mandala. Bersorak dalam Gempita Tanah Air. Jejak Siwa Nata Raja akan mengawali pesta kita dalam alunan Adi Mredangga. Bersiaplah, tidak lama lagi kita akan jadi riuh dalam suka cita ria yang panjang.
Siapa pun boleh berpesta. Ruang ini terlalu luas untuk kita bersama, mengapresiasi diri pada gerak dan suara-suara teratur dan berirama. Becerminlah, maka kau akan tahu talentamu telah terbangun sebelum matahari berpijak dari belahan bukit timur. Arena itu telah menantimu untuk menari dan bernyanyi. Datanglah ke sana, saungkan diri pada seni yang telah meraga jiwa pada tiap jengkal napasmu. Biar kalah sabung asalkan menang sorak. Bagiku bukan perkara menang atau kalah. Masih banyak kalangan yang akan kau gelanggangi untuk berpesta. Menjaga gerbang budaya tua pada desah sinar rembulan.
Tiap sudut mata angin muai berdenyut, berpesta kecil-kecilan di bawah kuasa Sang Hyang Langit. Mesti jalan terseok sinar matahari, tanpa hangat rembulan, masih ada kerdip kandil kecil penerang jalan pestamu. Berpesta di atas busa tarian dan wirama. Di manakah suara selonding itu pecah ketika selendang lembayung para penari mulai terbabar pada tepi senja melipat malam? Kita berpesta meski tanpa jamuan ini dan itu. Bukan masalah lapar atau kenyang. Puas dan kecewa adalah masalahnya ketika usai menikmati sajian talentamu dalam mengolah raga dan sukma menjadi irama yang tiada membosankan. Tarianmu telah berlumut oleh waktu, bertahun-tahun sudah diguyur keringat lembab gelisahmu. Kini saatnya menghangatkan diri pada hamparan ladang pesta yang singkat ini. Jangan sia-siakan. Kita punya lima penjuru, tempat kita untuk berpesta. Meski delapan mata di pulau ini tak pernah sama kadang terjaga dan kadang terlelap. Tapi di pesta ini kita sama-sama berdansa pada alunan lagu dan musik yang pernah usang dijaga zaman. Kita akan sama-sama berpesta menikmati sajian kering dan basah seni sana sini.
Di utara, terdengar jeritan burung gagak tengah menari, berbaur dengan irama burdah pecah di gelugu Pegayaman. Dalam arak-arakan, petanimu tengah berpesta biji anggur. Di selatan, parade beleganjur mulai mengalun di tengah hiruk pikuk kota yang tak pernah sepi oleh kehidupan Ladangmu yang menyempit, dinamika pariwisata dalam desah pasir putih Kuta dan Sanur, puputan negeri lumbung padi dan negeri serombotan, bisunya patung Ubud dan Batubulan terekam dalam gerak-gerak teaterikal yang megah dan akbar.
Di barat, konon jarak putih semakin kehilangan agemnya ketika taman safari yang ia bentangi makin gersang digerogoti cuaca. Hanya jegog tua terus bergempita pada puncak pestamu. Di timur, matahari sloka dan sastra selalu lebih dahulu bangun dalam balutan songket Tenganan. Tapi masih saja ada pesta nira dalam kerumunan anak-anak jalanan. Di tengah, ada tarian tasik klasik yang memagari budaya adat Kedisan dan Trunyan. Bukalah matamu, bukankah hari ini kau akan menari? Kembali menabuh gamelan bergangsa emas yang sudah lama lelah menunggumu. Inilah pestaku, tak pernah sepi meski musim terus menggerus mimpi-mimpi kecil pulau ini.