Senin, 28 November 2011

Pertemuan Gunung dan Laut Utara

Bukan cuaca yang menggiring kita untuk bertemu di tanah ini. Adalah kesepakatan-kesepakatan kita, kala senja itulah yang menjadi penyebabnya. Den Bukit menjadi pilihan kita untuk sekadar berteduh dari wajah langit yang terus memuram. Kampung kita sudah sesak oleh kisah-kisah membosankan. Kita perlu berlayar lagi meski tak ada laut yang akan kita seberangi. Kita berlayar pada kedalaman angin yang terus mengembusi sepanjang jalan kita. Kelak, kita akan bisa membangun kampung itu dengan cerita yang lebih segar. Kita perlu mendaki lagi meski tak ada gunung yang akan kita naiki. Kita mendaki ketinggian pikiran-pikiran kita untuk mengejar cita-cita. Kelak, kampung kita akan punya masa depan. Tapi siapakah diri kita yang terlalu berani punya idealisme yang setiap saat bisa mati?
Cuaca hanya memberi kesempatan pada kita untuk memilih nama. Gunung dan Laut itulah diri kita. Aku adalah Gunung-nya. Dan Laut adalah kau sendiri. Terlahir menjadi Purusa dan Predana. Kita sama-sama telah dikonsepsi untuk selalu bersama mengisi hidup di atas bumi. Bukankah rwa-bineda selalu hadir dalam hidup ini? Lautlah yang mengajarkan kita pada kedalaman. Gunung juga yang mengingatkan kita pada ketinggian. Adakah tempat yang mampu mempertemukan perbedaan-perbedaan karakter kita? Mesti dipahami bahwa nuansa itu adalah kebersamaan yang patut kita jaga. Meski bukan dengan kepalan jari-jari tangan, kita masih punya kata-kata untuk berdiplomasi. Adakah kota itu?
Adalah Singaraja, kota yang lahir dari lidah Ki Barak menjadi tempat yang terindah bagi Gunung dan Laut untuk saling mengenal, saling menerima, juga saling memberi. Di sinilah Gunung dan Laut dipertemukan. Lihatlah Gunung di sebelah selatan maka kau akan tampak kecil di kota ini. Pandanglah pula Laut di utaramu, maka kau akan tampak sempit di tanah luas ini. Jadi, jangan gegabah memandang Gunung dan Laut bisa-bisa kita salah langkah. Itulah sebabnya mengapa sesak kampung selalu mengusir tubuh dan pikiran kita untuk selalu membelajarkan diri. Mencoba menjadi Gunung, mencoba menjadi Laut adalah cita-cita kita sedari kecil. Namun, setelah kita mengenal karakter Gunung dan Laut di kota ini kita jadi lebih sering merenungi tinimbang ingin menjadi.
Di dermaga kota itu, kita masih sepakat untuk mempelajari kehidupan Gunung dan Laut. Mempelajari hidup kita sendiri. Namun, kita lalu menjadi sedikit lebih takut mengenal karakter-karakter kita masing-masing, bahkan berusaha untuk menutupinya. Baru satu hal yang kita tahu, itupun masih terlalu umum bagi kita bahwa Gununglah yang memberi asam bagi kehidupan ini dan Lautlah yang menggaraminya. Kita hanya bisa menyediakan belanga bagi pertemuan asam dan asin di kota ini. Bukankah belanga kita terlalu kecil untuk pertemuan itu? Atau jangan-jangan telah retak sebelum terisi.
Hanya itukah yang kita tahu? Jauh di puncak ketinggian Gunung itu, kita pernah melihat warna malam kota. Dari puncak inilah, daun-daun itu menyejuki kota meski kita tahu kota ini selalu saja mengembuskan udara panas. Gunung selalu membuat kita menjadi lebih tinggi. Kita kadang-kadang meremehkan kerendahan atau melupakannya. Padahal dari kerendahan itulah kita gapai puncak ketinggian. Jauh di tengah Laut itu, kita pernah melihat garis tepi kota. Dari kedalaman inilah, tepi itu selalu beriak, bahkan memberi gelombang bagi kehidupan kota. Laut selalu mengantarkan kita pada kedalaman. Namun, ketika kita sudah menyelam jauh di kedalaman itu kita sering melupakan kedangkalan. Sejatinya, dari tepi yang dangkallah kita bisa berenang jauh ke titik yang lebih dalam. Kita, yang merasa masih rendah dan dangkal, kota ini masih memberikan peluang untuk mengolah asam Gunung dan garam Laut menjadi lebih bermakna dalam kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar