Senin, 28 November 2011

Di Ujung Istana Air


             Pada anak tangga itu, kita pernah mendongengi patung warak tua dengan keluh kesah cinta. Rindu lalu mengapung di atas kedalaman Laut Ujung yang mulai disesaki nelayan memulangkan pagi. Pada tepi itu kehidupan pantai telah dimulai. Namun, masih ada sisa tangis bendega kecil pada lautmu yang berbatu. Karena karangmu tak lagi seteguh hatimu menunggu pagi lebih dini. Juga terumbu-terumbu itu hanya akan jadi bumbu bagi dongeng ikan-ikanmu kelak ketika orang-orangmu tak lagi peduli pada keindahan yang mesti dijaga. Masih adakah keindahan itu di jiwamu? Kini, kudapati layarmu telah lusuh karena kau harus pulang lebih awal, membasuh tubuh asinmu di situs istana berair itu.
             Tumbu yang kukenal hanyalah batas bagi sepimu. Di sanalah kau akan mengurai sunyi itu pada sepanjang kali bertepikan pohon-pohon padi. Sejenak riak telaga mulai terjaga ketika segaramu mulai mengirim udara dan akan berkubang di titik sarang burung-burung bukit Bisbis. Aku tahu kau pernah punya mimpi ingin jadi raja bagi tepi telaga itu. I Gusti Bagus Jelantik itukah obsesimu? Sayang kau belum lahir seabad lalu. 1919 adalah masa yang belum pernah kau tiduri. Mimpi pun lenyap. Kini kau hanya bisa menangkap kesan megah masa lalu lewat cerita beku yang dikisahkan oleh sepasang kijang jinak.
            Rindumu makin menjadi ketika puing-puing itu kian berlumut, bersandar pada musim yang tidak pasti. Adalah Hyang Tohlangkir yang memberi masa pada istana untuk sesekali tunduk pada petaka. Aku tahu, kau datang di pagi itu untuk mengagumi kisah yang mungkin masih mengambang di atas kolam hijau berganggang. Hanya pada ketinggian bale kapal kau akan merenungi betapa dulu rajamu punya kuasa. Dari bale lunjuk kau hendak berimajinasi di tengah-tengah laut ingin menjaga istana itu tetap berair. Menuruni tanah berundak membuat manjamu keluar membentur bulir-bulir padi yang kini tinggal sepetak.
            Di situs ini, rajamu itu telah bergelar anak agung.  Bahwa kisahmu adalah pernah menjamu tamu-tamu yang mungkin tak tercatat dalam sejarah. Tapi aku dapat merasa, betapa sumringahnya tiap pesta yang kau janjikan pada setiap malam kecilmu.  Pun karena dayang-dayang puri masih setia menemani, memandangi bulan bundar menyelam di kedalaman kolam. The Water Palace, akan menunjukkan padamu betapa dasyatnya air menjernihkan cahaya sukma. Juga pada ujung bola matamu? Di kolam dirah itulah lalu kudapati aura magis rajamu masih terasa menjaga setiap detail istana tua. Adakah kau merasa kedatanganku di sini membawa segenap rindu pada guguran daun kaliandra kering?
            Sempatkan lelahmu bersandar di bale gili, karena dari sanalah kita akan jadi lebih dewasa berpikir bahwa air punya sejarahnya sendiri menjiwai kehidupan istana. Memandangi potret kebesaranmu di tembok beranda itu adalah sebuah anugrah, melebihi keindahan panorama yang kau sucikan. Meski aku tahu pilar-pilar bale bundar itu tetap menjadi saksi untuk janji-janji cintamu. Dari sanalah kau menyudahi tidurmu yang kadang tak membawa mimpi. Dibangunkan dengan sinar matahari yang baru saja dikirim dari batas lepas tepi lautmu. Adakah cekepung itu masih bersenandung pada jembatan hatimu?
           Di selatan tiga telaga, jalanku mulai lelah mengenang musim yang pernah kau layari bersama para panjakmu. Siapakah yang akan kau jamu malam ini? Sedangkan kumbang malam mulai menembang di tepi rumput bale kambang. Bertahun-tahun meruntuhkan sepi menggenangi sungai berteduhkan daun talas ungu. Koloni bangau putih itu harus pergi lagi menyarang senja. Setelah lelah ia mendengar gemuruh air terjun sang warak di ketinggian lereng bersemak kabut. Kembali entah ke pohon mana akan ia ceritakan bahwa relief istana air tak lagi bisa menepis sepi di setiap lekuknya yang terdalam. Pun sejuk dongeng air ini mesti kuakhiri di puncak altar manikan, di ujung air hulu istanamu.

2 komentar:

  1. apa makna dari nama2 bale yg bpk sebutkan?

    BalasHapus
  2. ternyata di bali bangunan itu tdk asal dibangun...bahwa setiap ruang menempati bangunannya sendiri2...

    BalasHapus