Senin, 28 November 2011

CERITA DARI BUDAKELING

            Dari Budakeling, aku tahu namamu lahir dari sebatang pohon. Ni Tanjung, kaukah itu yang sering menyembah bulan dari balik daun gamal di gersang laharmu? Pada salah satu sisi cekung pangkung itu, kutemukan tahta batu-batumu. Tapi bukan untuk kembali ke sebuah zaman sebelum kau mengenal aksara. Kau hanya ingin melukisi sisa batu-batu lahar itu. Melukis dengan segenap cerita megalitikum yang mungkin tak kau dengar dalam sejarah. Dan aku lebih suka menyebutmu perempuan pelukis batu bukan nenek gila seperti yang ditujukan oleh guyonan senja yang tak lagi basah itu.
Hanya musimlah yang membuatmu menjadi tidak waras. Bukan batu-batu bercadas itu. Karena kau punya ritual sendiri, menjadi abdi seni pada tikung jalanmu yang kini mulai berdebu. Dengan gerak yang kau maknai, tersiar kabar engkau juga seorang penari. Arja, itukah seni yang dulu kau napasi? Kau pernah berkata ingin menari dalam cermin yang sering kau bayang-bayangi sendiri. Menari dengan iringan ritme lolongan dua ekor anjingmu, membuat gubuk batumu makin bertaksu. Tapi ada sepi di senandung lirihmu.
            Pada pagi Jabe, kudapati kau sudah menyambut matahari. Kembali pada rutinitas menumpuk batu-batu itu, yang bagimu perlu dijiwai dengan segores kapur putih. Maka batu-batu berwajah itulah yang akan menemani tarianmu di kala bulan menghampiri. Malam ini, roh-roh mana yang akan kau lukis pada kanvas batu-batu itu? Kau ingin melukis betara dan betari yang sedang kau puja meski tanpa dupa dan setetes air suci. Tapi selalu ada harmoni dalam lukisan batumu. Penyatuan etnis tanpa batas dengan warna-warna yang lebih ekspresif. Meru manakah yang akan kau pinang dalam tumpang punden batu-batu itu? Bulan masih mau menemanimu menggoresi batu yang kian bercahaya.
            Ni Tanjung, kini hendak berwiracarita pada wayang-wayang yang ia ringgit sendiri di rambat rumput tepi jalanan. Jadilah dalang bagi lakonmu sendiri dengan pecah sinar bulan yang telah kau pilih pada kelir malammu yang lusuh. Namun, malam tadi kau kembali mengumpat atas kehilangan lakonmu pada guguran gempinis di jantung laharmu. Suara-suara itu terlalu mengusik tembang pupuh yang kau gurat cepat dan tepat, juga pada batu-batu bertoreh kapur itu. Sepi pun sempat menghampiri. Hanya diam yang tersisa pada sisa retak cerminmu. Dengan apakah aku harus mengusir sunyi pada altar batumu?

            Bertahun-tahun lamanya, aku masih bisa menyinggahi tahta batu tuamu. Meski kini mulai bersemak lumut pada celah-celah yang kosong. Dari sanalah sinar bulan memberiku cerita bahwa kau tak lagi mendiami istana batumu. Tak lagi melukis ribuan wajah liris nan magis. Telah habiskah kuas dan kanvas-kanvas alam itu? Kau bukannya berkelana mencari dunia dengan cuaca yang lebih bersahaja. Budakeling pun tak bisa kau tinggalkan karena di sana masih ada banyak batu yang bisa kau lukisi. Ni Tanjung, jika tahtamu masih bermusim, ingin rasanya aku bertamu ke istana batumu, memintamu untuk menari lagi dengan pendar bulan yang lebih purnama. Sesekali  memintamu untuk memandang mukaku dan melukiskannya pada batu-batumu. Kelak akan tahu seperti apa wajahku dalam batumu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar