Senin, 28 November 2011

BONDRES ITU PENUH ISI


            Betapa besar apresiasi yang ditunjukkan oleh Undiksha terhadap keberadaan dan perkembangan seni budaya Bali. Apresiasi itu diwujudkan lewat usaha nyata di lapangan dengan menggelar lomba bondres antarfakultas yang diselenggarakan 8 November 2008 yang lalu. Yang menarik bagi saya adalah peserta lombanya diikuti oleh mahasiswa. Saya lalu bertanya-tanya bagaimana jadinya pertunjukan bondres itu jika dimainkan oleh mahasiswa? Setahu saya tidak semua mahasiswa akrab dengan kesenian. Saya pikir, hanya mahasiswa yang berjiwa senilah yang mampu mementaskannya dengan baik.
            Ternyata dugaan saya meleset. Rasa penasaran dan keragu-raguan saya telah terjawab di atas panggung kampus itu. Lomba itu tenyata diikuti oleh banyak kelompok peserta. Yang membuat saya berdecak kagum yaitu ketika menyaksikan penampilan mahasiswa dalam mementaskan bondres. Meskipun dalam konteks ini mereka baru menjadi “seniman dadakan” tetapi saya merasakan jiwa mereka seolah-olah telah menyatu dengan karakter tokoh yang dimainkan. Mahasiswa itu mabondresan begitu lepas, tanpa beban, dialognya mengalir, tanpa kesan menghapal, menjiwai juga penuh improvisasi. Intinya, saat itu juga, mereka tampak profesional menjadi pragina bondres di atas penggung.
            Memang, harus diakui bahwa mahasiswa bisa seperti itu karena adanya proses yang dilalui sebelumnya yaitu belajar disertai dengan latihan. Hasilnya kini telah mereka petik. Begitu memuaskan. Paling tidak bisa menepis rasa malu yang berlebihan dan ada keinginan untuk menghibur diri sendiri juga penonton sebagai penikmat kesenian. Mahasiswa yang rata-rata menjadi calon guru itu memang harus membuang jauh-jauh rasa malu mereka ketika berhadapan dengan khalayak, malu jika tidak berani tampil. Namun, harus bisa juga mengikat erat-erat rasa malu itu ketika menampilkan atau memberikan hal-hal yang tidak baik, penuh kepalsuan, sarat tipu daya kepada orang lain.
            Di samping itu, yang menggugah perasaan dan pikiran saya pada lomba itu adalah disinggungnya konsep Tri Kaya Parisudha dalam tema lomba. Konsep inilah yang hampir merata dikupas oleh para peserta lomba. Bagi saya, konsep ini sangatlah sederhana tetapi dalam implementasinya di lapangan secara nyata sangat sulit dilaksanakan, kadang-kadang kita melupakan atau mengingkarinya. Mestinya kita bersyukur mempunyai atau mengenal konsep kesusilaan ini. Seharusnya bisa dilaksanakan tanpa mengenal suku, ras, agama, atau antargolongan. Intinya konsep ini tidak mengenal perbedaan, mengenal keberagaman.
Jika semua orang sudah mampu melaksanakan ketiga bagian konsep ini, saya yakin dunia tidak akan mengenal peperangan, pertikaian, pembunuhan, dan sebagainya yang mengarah pada tindakan merugikan. Sederhananya, apabila kita sudah bisa berpikir yang baik, berkata yang baik, dan berbuat yang baik, rasanya tidak perlu lagi undang-undang lengkap dengan segala atributnya dibutuhkan oleh manusia. Baik berpikir, berkata, maupun berbuat yang baik haruslah dilakukan secara selaras, serasi, dan seimbang. Jika kita melihat kondisi politik bangsa saat ini, konsep inilah yang semestinya menjadi dasar, atau pedoman dipegang baik-baik dan teguh oleh para calon pemimpin bangsa.
Bukannya cuma bisa berkata-kata yang baik dan manis untuk membujuk seseorang, namun dalam pikiran tersimpan segudang kejahatan yang untuk selanjutnya berimbas pada penerapan perbuatan yang tidak baik. Namun, yang namanya konsep tetaplah konsep masih abstrak pada benak manusia, penerapannya secara nyata dalam kehidupan kadang berseberangan atau berlawanan. Selama manusia masih diinggapi “penyakit” lupa diri dan loba konsep ini akan semakin kabur bahkan hilang untuk dilaksanakan.
Saya beryukur telah diingatkan pada konsep adiluhung ini lewat pertunjukan bondres itu. Lomba itu juga telah mengobati kerinduan saya bertahun-tahun karena baru kali itulah saya bisa lagi menikmati pementasan kesenian yang kurang laris di pasaran. Saya masih ingat betul bahwa dulu, sebelum reformasi digulirkan, bondres sering dijadikan sebagai media penyampaian kebijakan-kebijakan pemerintah. Sehingga masyarakat menjadi tahu, paling tidak mendapat pencerahan atau penerangan tentang hal-hal yang akan atau telah dilakukan oleh pemerintah.
Alhasil, cara ini sangat efektif dalam memersuasi masyarakat karena disampaikan secara santai, penuh lelucon, namun sarat isi dan nilai-nilai yang hendak disampaikan. Pesan atau nilai yang ingin disampaikan akan cepat diserap oleh penonton (masyarakat) karena dikemas dalam bentuk hiburan segar. Meskipun kita tahu bahwa dalam pertunjukan bondres yang ditampilkan adalah rata-rata sosok yang jelek atau cacat dari segi fisik. Seperti bentuk bibir atau mulut yang tidak wajar (sumbing, ompong, jongos), pincang, bentuk mata atau pipi yang serba abnormal. Uniknya lagi semua itu dikemas atau disembunyikan dalam topeng. Harus juga diingat, topeng ini hanyalah sarana hiburan.
Fisik bukanlah menjadi ukuran, meskipun harus diakui pada hal-hal tertentu bentuk fisik dituntut ideal, musti normal. Namun, kebanyakan fisik kadang-kadang menipu. Dalam bondres yang lebih penting adalah ketersampaian isi (pesan, amanat, nasihat, atau nilai-nilai) kepada penonton. Jika kita memang penonton yang baik sudah semestinya bisa memilih dan memilah. Bila diberi pilihan, akan lebih baik jika fisik dan perbuatan kita sama-sama baik sesuai dengan norma yang berlaku. Pun bila tidak diberi pilihan lebih baik fisik kita tidak ideal daripada perbuatan kita banyak yang cacat. Jika belum, mulailah melandasinya dengan berpikir, berkata, dan berbuat yang serba baik, dari sekarang juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar