Senin, 28 November 2011

Grafiti Pohon

            Aku sempat ragu atas kedatanganmu ke langit Sukasada. Namun, saat itu, dengan tarian kunang-kunang senja kau datang membawa segenggam kepastian di atas keraguanku. Kau ingin membangun dunia dengan rambutmu yang terus memanjang. Namun, entah kenapa iklim belum terlalu akrab bersahabat dalam tubuh dan jiwamu, yang kadang seperti tong kosong yang tak senyaring bunyinya. Aku datang ke pangkuan senyummu untuk menagih cerita yang dulu pernah kau janjikan di bawah pohon kepundung. Senyampang pohon itu berbunga mari kita lekas bersua untuk menaklukkan butir-butir dingin yang kian merajalela di lembah sempitmu. Segeralah sebelum pagi kembali tiba menyaingi derap langkah kita. Karena yang kita punya hanyalah malam di ujung sayap-sayap serangga.
            Dunia sempat kagum ketika kau bercerita ingin jadi ratu bagi kata-kata. Dan teduh kepundung itu memberimu waktu untuk meminang gaun bahasa nan bersahaja. Keinginanmu ingin menjadi pucuk dari segala pohon sempat kau torehkan di bangku dan tembok kelasmu. Kau pun akhirnya dimaki oleh gurumu ketika kertas polosmu tak mampu lagi menampung tarian pensil istanamu. Mesti diakui kau terlalu sombong menceritakan kata-kata hasil anyaman lidahmu yang konon tak bertulang itu. Kau pun berpaling. Kau penuhi sandaran-sandaran kursi dengan tulisan klisemu. Mengotori kaki-kaki meja kelas dengan coretan pendek yang bagi akan bermakna dan tetap abadi. Tetapi apa yang kau tulis akhirnya hanya menjadi grafiti kering di bangku sekolahan. Ke mana lagi tangan-tangan nakalmu akan menari, ketika sandaran punggungmu mulai lapuk bahkan merapuh?
            Kini, kau tak perlu takut karena kita punya pohon-pohon yang bisa kau grafiti setiap waktu ketika naluri tulisanmu hadir setiap saat. Tiada lagi tinta pena yang akan kau gunakan untuk melumuri ranting-ranting itu. Adalah getah yang kini kau punyai. Namun, tak pernah kau cicipi pahitnya karena yang lebih tahu tentang rasa adalah kata-kata yang telah kau gores pada lebam kulit pohon-pohon itu. Maka tak akan menjadi pahit lagi apa yang kau ucapkan pada setiap huruf yang meluka pada tubuh pohon tua itu. Sungguh manis untuk dibaca dan didengar tetapi cukup pedih untuk dirasa ketika kata-kata bergetahmu menajami dahan pohon dengan bunga dan buah musiman.
            Aku lebih senang menyebutmu perempuan-perempuan kepundung. Di musim ini pohon itu telah mengubah putik bunga putihnya menjadi bakal biji-biji kepundung. Sepertinya, cerita ini akan menjadi lebih manis ketika kau menelan bulir demi bulirnya kelak saat buah itu berwarna merah menyala. Sukasada begitu lugu menyediakan waktu bagi kita untuk bernaung di bawah rimbun pohon-pohon. Pohon itu tak lagi membuatmu manja. Setiap kata yang tergrafiti pun tak lagi secengeng di bangku sekolahan. Kini kau telah menjadi tunas-tunas idaman dengan segenap kedewasaan yang terpancar dari balik lingkaran kambium. Seiring bertambahnya umur ukiran grafiti di pohon jiwamu. 
        Kau patut mensyukuri, bahwa setiap getah yang kau kucurkan pada dahan itu, kepundung tak pernah memberontak. Dari akar ke ujung daun, pohon itu begitu pasrah menerimamu apa adanya. Meski kau begitu yakin tahu, luka itu begitu sakit untuk sebuah pohon. Kau terus menulisi tubuhnya bukan lagi dengan cinta, rindu, atau benci. Grafiti yang kau pahat terasa lebih dalam dengan kisah tentang harapan, filosofi, prinsip, teori atau apa pun itu yang akan mengubah dirimu pada setiap tulang daun yang terus berguguran. Setahuku itulah bahasa abadimu kini. Di bab akhir, kepundung yang telah remuk kau lukai dengan segala ego ilhammu telah meranggas kehilangan jiwa. Jadi, jangan segan-segan membunuh pohon itu sebelum kau melukai setiap detail kulitnya dengan sayatan grafitimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar